SABAR

 



Sabar itu sulit untuk saya.  Latihan terus, dan seringkali kalah terus.  Sabar sering kalah oleh ego, oleh keinginan yang tidak terpenuhi, dan paksaan kehendak dari pihak lain.  Setelah sabar kalah, marah menang, istighfar terucap, dan penyesalan datang.

Seperti hari ini, satu kejadian si sabar kalah.  Si A menyatakan penilaian terhadap hasil kerja saya.  Si A membungkus penilaiannya dengan kalimat yang halus tapi penuh menyakitkan bagi saya.  “Ini hasil kerja biasa saja, usang, tidak ada yang baru, membosankan”, kata si A.  Saya langsung kesal, tersinggung. Ego saya muncul. Merasa terhina. Marah meradang. Jantung berdetak lebih cepat. Wajah sudah tegang.

Seharusnya saya diam dulu, istighfar, menenangkan hati dan pikiran. Seharusnya saya bisa berpikir jernih, mengapa si A menilai seperti itu.  Mungkin setelah reda amarah saya, saya bisa bicara dengan baik-baik dengan si A. Untuk menanyakan alasan dan dasar dia menilai hasil kerja saya seperti itu. Jawaban A mungkin bisa jadi bahan intropeksi.

Tapi sabar kalah, menghilang dan marah mendominasi.  Akhirnya saya bertanya kepada A, “Apa maksudnya berkata seperti itu?”, dengan raut wajah penuh marah.  Si A kaget, dan bisa ditebak, dia minta maaf.  Saya malah meninggalkannya, dan mengabaikan permintaan maafnya.  Si sabar benar benar pergi.  Dan akhirannya bisa ditebak, hubungannya menjadi tidak enak.

Yang tersisa sesal, seandainya saya sabar.  Sabar itu sebenarnya bukan karena saya, bukan karena si A, orang yang membuat kesal. Sabar itu karena Allah swt, agar mendapat pahala dan ampunan yang besar.

s


#30DWC#Jilid28#day19

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AKU TAKUT

DEADLINE

HANYA TITIPAN