TERSIKSA KARENA IBA
Seorang teman bercerita, bingung melihat anaknya bersembunyi di balik pintu ruang tamu yang setengah terbuka. Anaknya memberi kode menempelkan jari telunjuk ke bibirnya, mengisyaratkan mamanya untuk diam, tidak bersuara. Ting ting ting, suara sendok diketukkan ke mangkuk terdengar jelas. Tukang sekoteng lewat depan rumah. Menoleh ke arah rumah teman tersebut, seperti berhenti sejenak, dan matanya mencari seseorang. Tukang sekoteng tersenyum lalu berlalu.
Setelah tukang sekoteng berlalu, denting sendok ke
mangkuknya tidak terdengar, si anak menghela nafas panjang, dan keluar dari balik
pintu. “Ada apa? Kenapa ngumpet?” tanya teman saya kepada anaknya. Si anak
menjawab “Ada tukang sekoteng”, jawab si anak singkat. “Kenapa? Kamu punya
hutang ke tukang sekoteng? Beli belum dibayar?” Si teman menuduh anaknya. “Nggak
ma. Aku nggak punya hutang ke tukang sekoteng. Aku hanya nggak ingin bertemu
tukang sekoteng. Aku kenyang, sedang nggak ingin minum sekoteng. Tapi aku juga
nggak tega kalau bertemu. Abang sekoteng itu selalu berhenti sejenak di depan
rumah kita. Celingak celinguk, matanya mencari cari aku. Matanya penuh harap.
Aku nggak tega lihatnya ma”.
Jawaban si anak membuat teman saya terdiam dan tersentuh
hatinya. Senang memiliki anak yang begitu peka, perasa dan mempunyai empati
yang tinggi. Sedih dan bingung juga, merasa si anak seharusnya di usia 20 an
itu sudah bisa menerima perbedaan, keaneka ragaman di segala aspek, termasuk
aspek ekonomi. Teman saya mengerti sekarang, mengapa si anak sering membeli
jajanan dari tukang jajanan keliling yang lewat. Namun jajanan itu tidak
dimakan, di bagikan ke siapa saja yang mau, entah ke si mbak asisten rumah
tangga, atau anak tetangga yang sedang bermain depan rumah. Kalau ditegur,
hanya bilang kasihan si penjualnya, sudah capek keliling, sudah tua, makanan
jualannya masih banyak, dan sejuta alasan lagi.
Dari aspek kemanusiaan, perasaan dan empati, anak itu sudah
melakukan hal yang benar. Membantu si penjual yang sedang mencari nafkah. Bila
status ekonomi si anak kelas atas, uangnya tidak terbatas, tidak masalah
membantu orang-orang yang sedang berjuang mencari nafkah. Namun bila status
ekonomi si anak menengah ke bawah, tentunya akan mempengaruhi keuangannya. Akan
ada hal-hal yang harus dibayarkan sesuai skala prioritas.
Bila ingin membantu orang lain, alokasikan, anggarkan dengan
tidak melalaikan kewajiban yang harus dibayarkan. Mungkin dalam agama, sudah
ditentukan alokasi yang harus dianggarkan untuk membantu orang lain.
Selain itu, mungkin si anak bisa sedikit merubah sudut pandang, agar hatinya
tidak tersiksa oleh rasa iba, tidak bisa membeli. Si penjual yang sedang mencari nafkah, sudah
ditentukan dan dijamin rezekinya oleh Allah swt. Selama si penjual mau berusaha
dan berdoa. Bila suatu saat si anak tidak bisa membeli makanan dagangan si
penjual. Allah akan jamin dan beri rezekinya dari orang lain. Selain itu,
proses si penjual berusaha mencari nafkah, itu merupakan ibadah. Oleh Allah swt
akan diberi pahalanya sendiri. Yang terakhir, doa agar dagangannya laris, ada
yang membeli barang dagangan selain kita, akan menjadi bantuan terindah buat
mereka.
#30dwc#Jilid28#day25
Komentar
Posting Komentar