BERSERAH DIRI PADA MU (3) TAMAT

 BERSERAH DIRI PADA MU

Ratna terdiam terpaku.  Wajahnya terlihat bingung.  Sunyi ruang tamu menambah kebingungannya.  Detik jam dinding tidak juga membunuh kesunyian.  Gorden lusuh dengan motif gambar memudar menjadi sasaran tatapan mata bingung Ratna.  Kursi ruang tamu dengan bahan dari kayu, menambah ketidaknyamanan duduknya.

Handphone itu tergeletak di atas meja ruang tamu.  Handphone pun ikut terdiam terpaku.  Mungkin handphone itu juga lelah, setelah tiga puluh menit yang lalu menerima telephone.  Telephone penuh kemarahan dan ancaman dari seseorang.

Masih terdengar jelas suara penuh kemarahan itu. “Saya tidak mau tahu.  Sudah setahun saya menunggu.  Kembalikan pinjaman modal itu. Setahun minjam, bagi hasilnya pun tidak jelas setiap bulan. Kadang kasih, kadang nggak.  Saya dirugikan! Saya akan laporkan polisi, penipuan dan penggelapan.  Saya beri waktu satu bulan.  Kembalikan uang seratus juta saya!!!!”

Ratna, si pemilik handphone wajahnya pucat pasi.  Diletakkannya handphone itu di meja.  Ratna terduduk lemas.  Belum menangis.  Dadanya sesak. Air mata sudah menggenang. Matanya berkaca-kaca karena bingung.

“Buuu….” Panggilan dengan suara lemah itu menyadarkannya.  Segera dihapus airmatanya yang mulai menetes.  Ratna berdiri cepat. Berjalan setengah berlari ke kamar.  Tubuh renta, kurus terbaring lemah. “Apa pak?” tanya Ratna ke pria itu.  Pria yang telah menjadi suaminya selama 20 tahun itu menjawab “ Minta minum bu, Bapak haus” suara lemahnya terdengar kembali.  Segera Ratna mengambil gelas berisi air dan sedotan, yang terletak di meja, di samping tempat tidur. Ratna mengarahkan gelas dan sedotan tersebut ke mulut suaminya.  Matanya menatap Ratna, menyiratkan terima kasih yang sudah berulangkali disampaikannya kepada Ratna. 

Ratna memperbaiki selimutnya.  “Bapak istirahat ya, tidur.”

“Siapa tadi yang telfon bu?” Rupanya percakapan itu terdengar juga.

“Teman pak, mengajak kerjasama, ibu tolak”, Ratna menjawab sekenanya. Mata Ratna tidak berani menatap mata suaminya.  Ratna takut suaminya tahu, kalau Ratna berbohong.

Mata suaminya terpejam.  Menarik nafas panjang.  Ratna merasa gelisah.

“Sabar ya bu, Semoga ibu kuat.  Maafkan bapak tidak bisa bantu ibu. Hanya menjadi beban ibu”.  Suara lemah suaminya terdengar, walau matanya terpejam.

Ratna langsung berdiri dan berjalan menuju pintu. “Tunggu ya pak, ibu ke dapur dulu.  Tadi kompor belum dimatikan” Ratna sudah merasa suaranya parau menahan tangis.

Setelah menutup pintu kamar, Ratna bergegas menuju kamar mandi.  Ditutup pintu kamar mandi, dinyalakan keran air kencang-kencang.  Suara gemuruh air keran memenuhi bak kamar mandi.  Mengalahkan tangisan Ratna.  Tangisan yang keras, tersedu sedu, tersenggal-senggal.  Mengeluarkan sesak penuh kepedihan di dada Ratna.  Sepuas-puasnya Ratna menangis di kamar mandi.  Kamar mandi, tempat favoritnya untuk menangis. Tidak ada yang mendengar.  Temannya hanya gemuruh suara air keran.

Suami sakit lumpuh, tidak berdaya selama lima tahun.  Hanya berbaring saja di tempat tidur.  Usaha keluarga yang bangkrut.  Tidak menghasilkan profit lagi.  Hanya tumpukan hutang yang harus dilunasi.  Ratna merasa lelah.  Lelah lahir batin. Di satu sisi, mengurus suami yang sakit.  Di sisi lain, mencari uang untuk mencukupi kebutuhan keluarga.  Mencari solusi untuk menyelesaikan hutang dan tekanan para penagih hutang.

Tok Tok Tok. Ketukan di pintu kamar mandi terdengar keras. “Buuuu… di dalam yaaa… Buruan buuu .. Dede mau pipis”

Ketukan itu menyadarkan Ratna.  Segera Ratna membasuh wajahnya.  Segera dibukanya pintu kamar mandi.  Dilihatnya si Dede, anak bungsu Ratna meringis ringis, menahan rasa ingin buang air kecil.

Dede langsung menutup pintu kamar mandi.  Ratna bergegas ke dapur, menyiapkan sirup dingin untuk Dede. Ratna berfikir, Dede pasti haus, berjalan cukup jauh.  Untuk menghemat ongkos sekolahnya, dia hanya naik angkot sekali dan berjalan cukup jauh menuju rumah. 

Belum juga kuletakkan sirup dingin itu di meja makan.  Dede sudah menyambarnya dan meneguknya langsung. Sambil minum, Dede menatap Ratna tajam.  “Ibu habis nangis yaaa.. matanya bengkak.” Ternyata terlihat juga.

“Sabar ibu.  Tadi di sekolah belajar agama.  Jadikanlah shalat dan sabar sebagai penolongmu.  Itu saja bu penolong kita.” Anak kelas satu SMA ini sudah pandai memberi nasehat.

Ratna tersenyum, “Ibu shalat ashar dulu yaa.. “ Ratna berjalan ke mushalla, sebuah kamar yang luasnya tidak seberapa, dan dijadikan tempat beribadah, shalat dan mengaji.

Dipakainya mukena.  Harum semerbak wangi mukena itu.  Kebetulan baru dicuci dan diseterika.  Segera Ratna membaca niat dan memulai shalat Ashar.  Perlahan Ratna membaca bacaan shalat, kuhayati semua bacaan dengan artinya.  Shalat ini penolong Ratna.  Dalam shalat ini Ratna merasa dekat sekali dengan Allah, berkomunikasi dengan yang menciptakan Ratna.

Selesai shalat, Ratna kembali menangis. Mengadukan semua masalahnya, lelahnya, isi hatinya, kebingungannya.  Ratna merasa Allah di sampingnya.  Ratna menangis “Ya Allah, peluk aku, kuatkan aku, damping aku, tolong aku, jangan tinggalkan aku sekejap matapun ya Allah” Air mata mengalir deras  di pipi Ratna.

Ratna masih tetap mengangkat tangan, terisak isak. “ Ya Allah, melihat kekuatanku, aku tidak akan sanggup menyelesaikan semua persoalan ini.  Tapi aku melihat engkau ya Allah, Yang Maha Kuat, Maha Perkasa dan Maha mengetahui.  Aku yakin, engkau akan menolongku, dengan cara yang tidak terduga.  Hanya engkau yang tahu. Peluk aku selalu ya Allah, kuatkan aku, sabarkan aku”. Air mata Ratna makin mengalir deras.

Ratna menurunkan tangannya. Menundukkan kepala.  Terpekur sejenak.  “ Ku serahkan semua urusan dunia ini padamu ya Allah.  Aku hanya menjalankan perintahmu, menjauhi laranganmu. Aku yakin ya Allah, selama aku taat padamu, Engkau akan menolongku. Aku akan taat padamu ya Allah.” Ratna menutup doanya.

Ratna bangkit.  Melipat mukenanya.  Ratna berbisik pada diri sendiri “Aku berserah diri pada Mu ya Allah ….”.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AKU TAKUT

DEADLINE

HANYA TITIPAN