BERSERAH DIRI PADA MU (2)

 BERSERAH DIRI PADA MU

Ratna terdiam terpaku.  Wajahnya terlihat bingung.  Sunyi ruang tamu menambah kebingungannya.  Detik jam dinding tidak juga membunuh kesunyian.  Gorden lusuh dengan motif gambar memudar menjadi sasaran tatapan mata bingung Ratna.  Kursi ruang tamu dengan bahan dari kayu jati, menambah ketidaknyamanan duduknya.

Handphone itu tergeletak di atas meja ruang tamu.  Handphone pun ikut terdiam terpaku.  Mungkin handphone itu juga lelah, setelah tiga puluh menit yang lalu menerima telephone.  Telephone penuh kemarahan dan ancaman dari seseorang.

Masih terdengar jelas suara penuh kemarahan itu. “Saya tidak mau tahu.  Sudah setahun saya menunggu.  Kembalikan pinjaman modal itu. Setahun minjam, bagi hasilnya pun tidak jelas setiap bulan. Kadang kasih, kadang nggak.  Saya dirugikan! Saya akan laporkan polisi, penipuan dan penggelapan.  Saya beri waktu satu bulan.  Kembalikan uang seratus juta saya!!!!”

Ratna, si pemilik handphone wajahnya pucat pasi.  Diletakkannya handphone itu di meja.  Ratna terduduk lemas.  Belum menangis.  Dadanya sesak. Air mata sudah menggenang. Matanya berkaca-kaca karena bingung.

“Buuu….” Panggilan dengan suara lemah itu menyadarkannya.  Segera dihapus airmatanya yang mulai menetes.  Ratna berdiri cepat. Berjalan setengah berlari ke kamar.  Tubuh renta, kurus terbaring lemah. “Apa pak?” tanya Ratna ke pria itu.  Pria yang telah menjadi suaminya selama 20 tahun itu menjawab “ Minta minum bu, Bapak haus” suara lemahnya terdengar kembali.  Segera Ratna mengambil gelas berisi air dan sedotan, yang terletak di meja, di samping tempat tidur. Ratna mengarahkan gelas dan sedotan tersebut ke mulut suaminya.  Matanya menatap Ratna, menyiratkan terima kasih yang sudah berulangkali disampaikannya kepada Ratna. 

Ratna memperbaiki selimutnya.  “Bapak istirahat ya, tidur.”

“Siapa tadi yang telfon bu?” Rupanya percakapan itu terdengar juga.

“Teman pak, mengajak kerjasama, ibu tolak”, Ratna menjawab sekenanya. Mata Ratna tidak berani menatap mata suaminya.  Ratna takut suaminya tahu, kalau Ratna berbohong.

Mata suaminya terpejam.  Menarik nafas panjang.  Ratna merasa gelisah.

“Sabar ya bu, Semoga ibu kuat.  Maafkan bapak tidak bisa bantu ibu. Hanya menjadi beban ibu”.  Suara lemah suaminya terdengar, walau matanya terpejam.

Ratna langsung berdiri dan berjalan menuju pintu. “Tunggu ya pak, ibu ke dapur dulu.  Tadi kompor belum dimatikan” Ratna sudah merasa suaranya parau menahan tangis.

Setelah menutup pintu kamar, Ratna bergegas menuju kamar mandi.  Ditutup pintu kamar mandi, dinyalakan keran air kencang-kencang.  Suara gemuruh air keran memenuhi bak kamar mandi.  Mengalahkan tangisan Ratna.  Tangisan yang keras, tersedu sedu, tersenggal-senggal.  Mengeluarkan sesak penuh kepedihan di dada Ratna.  Sepuas-puasnya Ratna menangis di kamar mandi.  Kamar mandi, tempat favoritnya untuk menangis. Tidak ada yang mendengar.  Temannya hanya gemuruh suara air keran.

Suami sakit lumpuh tidak berdaya selama lima tahun.  Hanya berbaring saja di tempat tidur.  Usaha keluarga yang bangkrut.  Tidak menghasilkan profit lagi.  Hanya tumpukan hutang yang harus dilunasi.  Ratna merasa lelah.  Lelah lahir batin. Di satu sisi, mengurus suami yang sakit.  Di sisi lain, mencari uang untuk mencukupi kebutuhan keluarga.  Mencari solusi untuk menyelesaikan hutang dan tekanan para penagih hutang.

Tok Tok Tok. Ketukan di pintu kamar mandi terdengar keras. “Buuuu… di dalam yaaa… Buruan buuu .. Dede mau pipis”

Ketukan itu menyadarkan Ratna.  Segera Ratna membasuh wajahnya.  Segera dibukanya pintu kamar mandi.  Dilihatnya si Dede, anak bungsu Ratna meringis ringis, menahan rasa ingin pipis.

Dede langsung menutup pintu kamar mandi.  Ratna bergegas ke dapur, menyiapkan sirup dingin untuk Dede. Ratna berfikir, Dede pasti haus, berjalan cukup jauh.  Untuk menghemat ongkos sekolahnya, dia hanya naik angkot sekali dan berjalan cukup jauh menuju rumah. 

Besok sambung lagi ya ceritanya …

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AKU TAKUT

DEADLINE

HANYA TITIPAN