HANYA TITIPAN
CHAPTER 1
ANAK
Gadis kecil itu
bertubuh gempal. Pipinya tembem montok
putih merona merah. Rambutnya panjang
dikuncir ekor kuda. Kuncirnya bergoyang-goyang
karena dia sibuk bergerak kesana kesini.
“Nenek.. nenek … mana
kue coklat aku ? “ suaranya nyaring kenak-kanakan. Mata bulatnya menatapku penuh harap.
“Lho, kemarin kan sudah
habis Ria makan. Lupa ya sayang ?” Jawabku penuh kelembutan dan rasa sayang.
Mata bulat itu memicing,
dahinya mengerenyit, bibirnya mulai maju. “Nggak nenek. Masih ada, Ria taro
kulkas” nada suaranya mulai merajuk dan sedih.
Pintar sekali gadis lima tahun ini berekspresi.
Aku berdiri, melangkah
menuju lemari es. Membuka dan mencari
kue coklat yang dicari Ria. “Nggak ada sayang .. bener Ria taro kulkas ?”
tanyaku pada Ria setelah kue coklat itu tidak ditemukan.
“Bener Nenek … nggak
ada ya ? Uuuhhh pasti dimakan Rudi. Dia suka ambil makanan Ria “ Wajahnya mulai
marah bercampur sedih. Matanya sudah berkaca kaca.
“Belum tentu Rudi yang
makan. Sabar sayang, nanti kita beli
lagi ya …” aku memeluk dan menenangkan gadis kecil itu.
Bukannya tenang, Ria
malah menangis keras … “Aku nggak mau nenek … Aku mau kue coklat…” Tangisnya
makin keras, seperti biasa kalau keinginannya tidak terpenuhi.
Klik. Bunyi handle pintu dibuka sangat keras dan
kasar terdengar. Laki laki muda bertubuh
besar keluar. Hanya mengenakan celana
pendek, tidak memakai baju. Mukanya
masam, menahan amarah. Menghampiri aku
dan Ria.
Tangan besarnya menarik
tangan mungil Ria. Ditariknya kasar dari pelukanku. “Kenapa nangis ?” tanyanya kasar.
“kue coklat Ria ada
yang makan .. nggak ada di kulkas .. hiks hiks”…. Ria menjawab sambil
tersedu-sedu dan tersenggal-senggal.
“ Udah … Nanti ayah
punya uang, ayah beliin. Sekarang bapak
miskin. Nggak punya uang. “ Jawabnya kasar. Sambil menatap tajam ke arahku. Ditarik kembali tangan mungil Ria, diseret
kasar ke kamar. Gubrak, ditutup pintu
kamar dengan kasar. Tangis Ria terhenti. Hanya isak tangis tersenggal
pelan. Ria takut dengan ayahnya.
Tangis Ria berhenti. Tangisku dimulai. Tangis tanpa suara. Hanya air mata mengalir perlahan. Aku berjalan ke arah dapur, sambil menghapus
air mata dengan tangan.
Kubereskan piring kotor
di meja makan. Kuletakkan di bak cuci
piring. Kunyalakan air keran. Kunyalakan dengan kencang. Suaranya keras terdengar. Seandainya tangis ku bersuara, akan tertutup
oleh suara air keran yang keras.
Aku menangis karena
Ria, cucuku yang masih kecil. Yang tidak tahu apa apa. Belum berdosa. Anak
kecil yang hatinya masih tulus, bersih dan polos. Ria hanya ingin kue coklat. Tidak ingin yang lain.
Ria menjadi korban
konflik ayah dan neneknya. Si Nenek yang
tidak mau memenuhi keinginan ayahnya memberikan modal usaha. Si ayah kecewa, tidak punya usaha. Merasa akan menjadi pengangguran kembali,
makan tidur saja di rumah.
Aku bukan tidak mau
memberikan modal usaha. Memang kondisi
keuangan sedang sulit. Aku masih
memikirkan kasus keuangan yang sedang kuhadapi, memikirkan nominal yang harus
aku siapkan untuk mengganti dana menyimpang karena kesalahanku.Seandainya aku
memaksakan memberikan modal usaha pun, akankah usahanya gagal lagi dengan modal
usaha terbuang. Bukan sekali ini Rangga,
ayah Ria, anakku, meminta modal usaha.
Dan bukan sekali dua kali aku berikan. Mungkin puluhan kali dengan
nominal yang tidak sedikit.
Ya Allah, mengapa aku
tidak punya kesabaran dan keikhlasan ? Mengapa tidak segera kubelikan Ria kue
coklat, agar Ria senang, tidak menangis.
Mengapa tidak kuberikan modal usaha anakku, agar Rangga tidak bersikap
kasar padaku, marah padaku.
Aku tidak tahu ya Allah
harus bagaimana. Aku merasa sendiri.
Tidak ada yang menyayangi dan membahagiakanku. Tetapi orang di sekitarku
menuntutku menyayangi mereka dan membahagiakan mereka. Ya Allah … merasa
sendiri .. merasa berat manjalani hidup ini …
Komentar
Posting Komentar